Nahdlatul Wathan Dan Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Montong Baan Tahun 1999-2016
mawarditalunblogspot.com
Manusia merupakan mahluk ciptaan
tuhan yang paling sempurna di muka bumi. Sebagai mahluk yang sempurna tentunya
manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, oleh sebab itulah
manusia dikatakan sebagai mahluk sosial karena saling membutuhkan satu sama
lain. Dalam kehidupan sosial terjalin sebuah komunikasi baik dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini menyebabkan terjadinya sebuah
interaksi dalam kehidupan manusia, kemudian di dalam interaksi inilah sering
memunculkan konflik. Konflik terjadi akibat adanya perbedaan pendapat,
pandangan, serta adanya mis kumunikasi antara dua orang atau lebih sehingga
melahirkan sebuah perselisihan. Konflik biasanya akan memunculkan sentiment
antar kelompok maupun individu yang mana individu tersebut akan pro atau kontra
terhadap kelompok atau individu berdasarkan ikatan emosional. Menurut Webster mendefrinisikan istilah ”coflict” dalam bahasa aslinya
berarti suatu ”perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Dari sudut
pandang ini konflik dapatH menyebabkan sekte-sekte di dalam suatu kelompok
tertentu dan jika diartikan
secara sederhana konflik memiliki unsur-unsur dimana terdapat aspirasi dan
aktor yang terlibat didalamnya, termasuk
dalam hal ini konflik yang terjadi dalam tubuh organisasi Nahdlatul Wathan di
Lombok Timur.
Nahdlatul
Wathan adalah organisasi kemasyarakatan islam
terbesar di NTB yang didirikan oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Melalui
bidang sosial, pendidikan dan dakwah inilah Nahdlatul Wathan pada masa TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berkembang pesat dan selama puluhan tahun telah
menghadirkan persatuan dan solidaritas sosial yang tinggi dikalangan masyarakat
Nahdlatul Wathan. Namun tidak dapat dipungkiri Nahdaltul Wathan yang telah
menyatukan banyak masyarakat di NTB, pernah mengalami keguncangan yang
disebakan karena masalah internal dikalangan keluarga besar pendiri Nahdlatul
Wathan, terlebih lagi setalah wafatnya TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
masalah dalam organisasi ini semakin meruncing, terbukti dengan konflik yang
terjadi dalam penetapan kepengurusan organisasi dan pada akhirnya berujung pada
munculnya dualisme kepemimpinan.
Secara umum dalam kehidupan
manusia, jika terjadi suatu konflik pasti akan menyebabkan suatu perubahan pola
interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan pola kehidupan bermasyarkat
ini biasanya akan melahirkan dinamika yang menentukan arah gerakan kehidupan
sosial masyarakat. Menurut Salim dinamika sosial
adalah daya gerak dari sejarah yang pada setiap tahapan evolusi manusia
mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari satu masa
(generasi) kemasa berikutnya. Maka dengan adanya perubahan pada setiap tahapan
dalam kehidupan manusia akan mampu menghasilkan sebuah perubahan-perubahan
kearah pembaharuan baik yang berbentuk positif amupun negatif biasanya dimulai dari cara yang sederhana dan
alamiah yang kemudian disempurnakan seiring berkembangya zaman dalam upaya
menuju perubahan sosial.
Ketika organisasi Nahdlatul Wathan
mulai berkembang di seluruh penjuru pulau Lombok, Desa Montong Baan merupakan
Desa yang ikut tersentuh lebih awal oleh pendiri organisasi Nahdlatul Wathan
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Dilihat dari lokasi, Desa Montong Baan
berada pada posisi yang strategis, karena berada pada jalur menuju pelabuhan
Lembar dan Kayangan, sehingga memudahkan bagi orang-orang untuk menjangkau Desa
tersebut. Bahkan Desa ini sempat menjadi tempat bermukimnya tentara Jepang pada
zaman penjajahan. Sehingga tidak menutup
kemungkinan menjadi pusat perhatian para, Ulama’ maupun Tuan Guru untuk
menyebarkan ajaran islam dan organisasi Nahdlatul Wathan khususnya.
Jika ditinjau dari sisi historis,
pada awalnya masyarakat Desa Montong Baan hanya mengetahui organisasi Nahdlatul
Wathan melalui cerita-cerita dari mulut ke mulut oleh orang yang menimba ilmu
atau sekolah di Pancor. Ditambah lagi pada waktu hanya segelintir orang, dan
kaum bangsawan saja yang mampu
mengenyam pendidikan dan bisa menjadi orang yang memiliki kedudukan penting
dalam struktur pemerintahan,
mereka-merekalah yang menjadi pendahulu ataupun pemimpin masyarakat dalam
bidang agama, sosial dan budaya, sehingga bisa dikatakan bahwa potret agama
islam di Desa Montong Baan waktu itu masih berjalan sesuai dengan keyakinan
yang diajarkan oleh nenek moyang masyarakat.
Perkembangan
organisasi Nahdlatul Wathan ditandai
dengan berdirinya madrasah sebagai tempat menuntut ilmu yang mana pada saat itu
ada di Pancor sehingga menyebabkan masyarakat Desa Montong Baan untuk
meyekolahkan anaknya di madrasah yang mana pada waktu tesebut dimulai oleh Amaq
Amsiah. Dialah yang pertama kali meyekolahkan anaknya yakni Muhammad Seneng dan
Muhammad Nasir di Madrasah Ibtida’iyah Pancor, karena beliau dekat sama TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Seiring berjalanya waktu madrasah-madrasah ini
semakin lama kian berkembang diseluruh penjuru Pulau Lombok dan tak ketinggalan
pula di Desa Montong Baan, dan seiring itulah mulai timbul kesadaran masyarakat
Desa Montong Baan untuk mulai menyekolahkan pura-putrinya di madrasah-madrasah
yang ada.
Keberadaan organisasi NW di Desa
Montong Baan mengalami
perkembangan yang sangat pesat melalui pendidikan dan dakwah serta kegiatan
sosial, yang menunjukkan eksistensi NW dan memiliki
tempat tersendiri pada masyarakat Desa Montong Baan. Dalam bidang dakwah
misalnya ketika pengajian yang dilaksanakan
khususnya pengajian rutin bulanan
masyarakat Desa Montong Baan selalu antusias untuk menhadirinya. Kemudian
pengajian tahunan sekaligus menjadi agenda rutin silaturrahmi almagfurllah pada tanggal 2
syawal setiap tahun selalu dipenuhi oleh jamaah NW baik yang berasal dari Desa
Montong Baan maupun luar desa, begitu juga dengan kegiatan pengajian bulanan
yang dilaksanakan di tempat yang berbeda di masing-masing dusun selalu ramai dihadiri oleh jamaah NW.
Di bidang sosial misalnya ketika terjadi musibah kematian yang menimpa jamaah
NW selalu dipenuhi oleh jamaah NW yang datang layatan meskipun hanya keluarga
dekat dan warga luar desa. Dengan keberhasilan melaksanakan berbagai kegiatan
dibidang tersebut menunjukkan betapa kuatnya solidaritas masyarakat Desa
Montong Baan sebelum terjadinya konflik.
Karena konflik yang terjadi dalam tubuh organisasi NW menyebabkan terjadinya
dinamika atau perubahan sosial dalam tatanan bermasyarakat Desa Montong Baan.
konflik yang ada dalam organisasi NW membawa organisasi ini kepada dualisme
kepemimpinan.
Semenjak terpecahnya
NW pada tahun 1998 sehingga membawa oragnisasi ini pada
dua istilah kepemimpinan organisasi, yakni
NW Pancor dan NW Anjani. Hal ini mengakibatkan
ikut terpecahnya warga atau jamaah NW yang ada di desa Montong Baan. Sebagian
besar masyarakat menjadi bingung dengan perpecahan yang terjadi, masyarakat
tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah karna kedua-duanya merupakan
putri bapak Maulanasyaikh. Dibalik kebingungan masyarakat tentang konflik dan
pepecahan yang terjadi mulai muncul aktor-aktor yang berperan untuk memecah
kebuntuan berpikir masyarakat dengan memberikan argument-argumen yang mudah
dicerna kepada masyarakat yang belum terkontaminasi akibat ketidaktahuan akan
konflik tersebut dan memeberikan solusi dengan menyediakan wadah yang dapat
mempersatukan pemikiran masyarakat.
Sebagai penguat kesolidtan antar
pendukung munculah kelompok-kelompok dalam tubuh NW yang menjadi babak baru
dalam konflik tersebut, seperti dari kubu Ummi Hj. Siti Raehanun lahirlah kelompok
Hizbullah pada tahun 2000, dan dari kubu Ummi Hj. Siti Rauhun lahir kelompok
Satuan Tugas/Satgas Hamzanwadi, namun di desa Montong Baan para tokoh atau elit
NW yang berafilisasi kepada Ummi Hj. Siti Rauhun mendirikan kelompok sholat
jenazah Pastabikul Khairoh, dengan alasan sebagai penyeimbang dan memfokuskan
kegiatan pada kegiatan sosial keagamaan seperti iuran kematian untuk anggota,
dan kegiatan syafa’at bersama seluruh anggota dirumah duka pada malam ketujuh.
Sehingga para kalangan pendiri kelompok ini
menganggap bahwa keberadaan kelompok ini menjadi penyeimbang untuk
meredamkan konflik yang terjadi dan kemudian kelompok inilah yang mengawali
perubahan sikap, dan pola interaksi antara jamaah NW Pancor dan Anjani.
Hubungan yang dulunya tenteram, seketika berubah menjadi renggang, artinya
muncul sentiment atau fanatisme yang berlebihan antar jamaah terutama pada saat
adanya kematian dan
kegiatan-kegiatan social keagamaan lainya.
Interaksi antar jamaah NW Anjani
dan Pancor di Desa Montong Baan meskipun
menunjukkan perubahan karena alasan perbedaan pimpinan yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada beberapa bidang yang sudah disebutkan diatas merupakan dampak dari keyakinan jamaah antara
siapa yang benar dan salah, serta siapa yang berhak menjadi pimpinan dalam
organisasi NW. Sehingga menyebabkan masyarakat terjebak pada peredabatan, dan
perubahan sikap dalam tatanan bermasyarakat. Namun tidak semua jamaah NW di
Desa Montong Baan yang bersikap atau mengalami hal seperti yang disebutkan di
atas, banyak pula jamaah NW yang tetap toleransi antar jamaah NW yang satu
dengan jamaah NW yang lain, meskipun dalam konteks pemikiran tetap memilih atau
mengutamakan pimpinan yang diyakininya. Dalam hal ini tergantung kondisi tempat
atau dusun karena di masing-masing dusun terdapat jumlah mayoritas dan
minoritas yang pro Anjani atau Pancor. Seperti Dasan Ngelok meskipun sejak awal pecahnya NW
masyarakat tetap seperti biasa dalam berinteraksi sehingga semua jenis kegiatan
baik kegiatan agama, maupun sosial tetap berjalan sebagaimana sebelum konflik
NW.
Pada perkembanganya perbedaan
yang ditampakkan oleh masyarakat di Desa
Montong Baan seiring mulai memudar dan mengalami perkembangan yang positif
ditampakan mulai tahun 2008 melalui
peristiwa ataupun pengalaman-pengalaman pasca konflik, jamaah NW di Desa Montong
Baan, perlahan membuka ruang untuk bersatu dalam segala hal dalam
bermasyarakat, termasuk keluarga yang pernah terpecah belah mulai saling
mengunjungi terutama dalam acara-acara tertentu dan tidak mudah terprovokasi. Disisi
lain masyarakat mendapat banyak
pelajaran sehingga mereka lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak guna
menjaga kesatuan sesama penduduk di Desa Montong Baan. Jika disimpulkan bahwa masyarakat Desa
Montong Baan telah menunjukkan sikap bersatu seperti sebelum terjadi konflik NW
dengan kesadaran masing-masing secara tersendiri masyarakat Desa Montong Baan
saling menhadiri dalam kegiatan papun tanpa intervensi dari pengurus NW meskipun pada
kenyataanya pucuk pimpinan belum bisa
terealisasi untuk islah atau bersatu dalam organisasi NW. Dalam hal ada
beberapa hal yang menyebabkan masyarakat bisa kembali dalam meyatukan pandangan
dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya adalah memalui kegiatan-kegiatan adat
ketika acara nyongkolan atau begawe. Forum-forum seperti ini dapat merajut kembali
ikatan yang sempat terputus dikalangan masyarakat Desa Montong Baan, disisi
lain budaya peninggalan nenek moyang masyarakat seperti banjar yang terbentuk
puluhan tahun secara turun temurun menjadi sarana penghubung komunikasi
masyarakat yang satu dengan yang lainya.
a. Pandangan Masyarakat Terhadap Konflik NW di
Desa Montong Baan
Jika
melihat pendapat masyarakat Desa Montong Baan dalam menyikapi konflik yang
berujung pada perpecahan NW beragam, ada yang mengatakan bahwa masyarakat
kurang bijak dalam menilai konflik dalam tubuh NW. H. M. Munggah Arsadi yang
merupakan pensiunan pegawai negeri sipil mengatakan, masyarakat Desa Montong
Baan sering kali mengaitkan segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan konflik, atau
perpecahan dalam tubuh NW
tersebut, misalnya dalam bidang agama ketika ada kematian masyarakat cenderung
melihat terlebih dahulu latar belakang organisasi yang tertimpa musibah
kematian tersebut barulah mereka
mau menghadiri acara
pemakaman sampai zikiran. Dalam bidang pendidikan juga muncul persaingan
masing-masing jamaah untuk mendidirkan pondok pesantren. Begitu juga dalam
bidang politik masyarakat ikut terkotak-kotak dalam menentukan pilihan sesuai
perintah dari pimpinan. Dan bahkan perpecahan ini dimanfaatkan oleh pihak
tertentu dalam momen pemilihan kepala daerah, presiden, maupun legislatif,
terlebih-lebih pemilihan kepala desa.
L. Kertanom BABINSA Desa Montong Baan menilai bahwa masyarakat Desa Montong Baan meskipun
terpisah dalam organisasi NW namun terdapat wadah yang tidak dapat memisahkan
mereka secara emsoional seperti acara kegiatan adat yang secara tidak terputus
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat Desa
Montong Baan. Dalam kegiatan adat di Desa Montong Baan seperti acara resepsi
atau pesta perkawinan yang biasanya kalau dalam adat sasak disebut sebagai
acara nyongkolan, kegiatan ini menjadi ajang seremoni yang yang dapat mempererat ikatan emosional antar
warga di Desa Montong
Baan sehingga agak
mudah meredam konflik yang
terjadi dalam organisasi NW.
Sekretaris
Desa Montong Baan bapak Ahmad mengatakan konflik pada organisasi NW merupakan
babak baru dari perkembangan NW sehingga bisa menyebar ke berbagai daerah. Begitu
juga dalam bidang pendidikan madrasah NW tersebar di berbagai penjuru pulau
Lombok dan bahkan sampai keluar daerah. Tidak terlepas juga kedudukan warga NW
dalam pemerintahan menjadi semakin banyak karena masing-berhasil menduudki
jabatan tertentu. Dalam kurun waktu perpecahan tersebut warga NW banyak
memanfaatkan untuk mengembangkan semua visi dan misi yang diperintahkan oleh
pimpinan masing-masing. Semua itu dapat dilihat dari sarana dan prasarana
pendidikan yang telah dibangun dan dikembangkan dalam lembaga yang bernaung
dibawah oragnisasi NW. Hal tersebut secara tidak langsung semakin mematangkan
semua jamaah NW dalam berorganisasi khususnya di Desa Montong Baan.
Komentar
Posting Komentar